Saatpertama kali masuk ke Pondok Pesantren Gontor, santri putra wajib membayarkan biaya administrasi sebesar Rp 6.142.000. Di dalam biaya administrasi tersebut sudah mencakup beberapa komponen seperti di bawah ini. Biaya Ponpes Putri PondokModern Darussalam Gontor meminta kepada seluruh walisantri tenang terkait ada 1 santri dinyatakan positif Covid-19. Selasa, 7 Juli 2020 01:36 WIB Penulis: Husein Sanusi Kesederhanaanmenjadi salah satu filosofi Gontor. Kesederhanaan dididik agar setiap santri mampu menghadapi segala macam jenis kehidupan. Pemimpin selalu lahir dari keprihatinan. Bukan dari kemewahan. Pendidikan ini yang menjadi nyawa Pesantren Gontor. Anda akan melihat, santri tidur berjejer di kamar seperti di pengungsian. Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. Peraturan Pesantren Gontor Putri memang unik. Tidak hanya persoalan dipisah jauh dengan kampus putra, tapi masih banyak peraturan unik lainnya. seperti apa sebenarnya peraturan di pondok pesantren Gontor khusus santriwati putri? Oleh karena itu, kali ini kami akan membahas serba-serbi peraturan fenomenal dari beberapa peraturan yang ada di Pondok Modern Gontor Putri. Selain berdasarkan pengalaman pribadi dan teman-teman penulis, kami juga merangkum dari berbagai artikel terpercaya yang tersebar di internet. Peraturan Gontor Putri untuk Tamu Peraturan Makanan SehatPeraturan Baju Santri Putri Gontor Peraturan Berkerudung di Pesantren GontorSetoran Hafalan Peraturan Mukena Pesantren Pengiriman Uang untuk Santriwati Peraturan Sekolah Gontor Putri Peraturan Gontor Putri untuk Tamu Ya, Pondok Modern Gontor memang terkenal dengan peraturannya yang sangat ketat. Bukan hanya di pondok putra, pondok putri pun mendapatkan peraturan yang sama ketatnya. Bagi setiap tamu yang datang ke wilayah putri, wajib menunjukkan kartu mahrom sebagai bukti bahwa santriwati yang ditemui adalah keluarganya dan bukan orang asing. Peraturan pesantren Gontor putri memang demikian. Maksudnya adalah jelas memiliki hubungan keluarga yang jelas, hal ini berguna untuk menghindari jika ada ikhwan iseng yang ingin menemui santriwati yang bukan keluarganya. Dan tambahan, jika santriwati ingin menemui keluarga yang menjenguknya maka wajib menggunakan kaos kaki untuk menutup aurat. Apalagi jumlah santrinya mencapai 30 ribuan, selengkapnya di sini. Bisa dibayangkan jumlah tamunya. Peraturan Makanan Sehat Makanan keseharian santri identik dengan mie instan bukan? Seperti Indomie atau Mie Sedap. Tapi, jangan salah, pihak Pondok Modern Gontor Putri melarang bagian kantin, kafetaria, ataupun minimarket pondok menjual produk berupa mie instan. Guna memenuhi gizi santriwati seimbang, pondok mengganti mie instan dengan makanan lain yang jelas empat sehat lima sempurna. Inilah peraturan pesantren Gontor putri yang menarik. Karenanya, jika Anda berkunjung ke sana, bisa dipastikan tidak ada satu pun yang menjual mie instan. Bahkan dalam peraturan, orang tua ataupun wali santriwati yang menjenguk atau mengirimkan paket, hanya diperbolehkan mengirim 3 bungkus mi instan saja. Hal ini juga dilakukan untuk menjaga masalah kesehatan, karena salah satu masalah utama santri adalah kesehatan. Bisa dibaca lengkap beberapa masalah santri di sini. Peraturan Baju Santri Putri Gontor Perempuan dikenal dengan busananya yang beragam. Namun tidak dengan santriwati Pondok Modern Gontor. Peraturan Pesantren Gontor Putri memiliki aspek yang menyeluruh. Kesederhanaan dalam berpakaian dicerminkan dengan baik di pondok ini. Para santriwati tidak boleh memiliki baju harian lebih dari enam stel. Selain meminimalisir jurang antara si kaya dan si miskin dari gaya berpakaian, peraturan ini juga bermaksud agar santriwati segera mencuci pakaian kotornya dan menghilangkan hobi menumpuk baju kotor. Seperti peribahasa sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui bukan? Hehe Peraturan Berkerudung di Pesantren Gontor Mungkin Anda sudah tidak asing lagi dengan yang namanya kerudung bergo bukan? Kerudung dengan desain simple dan ringkas yang bisa langsung dipakai. Kaum hawa biasa menyebutnya dengan kerudung “bergo” atau kerudung rumahan. Nah sebagai gantinya, para santriwati menggunakan jilbab segi empat yang panjangnya menutupi dada. Kerudung segi empat ini khasnya santriwati Pondok Modern Gontor. Peraturan berkerudung di Gontor demikian. Ditambah para santriwati wajib menggunakan topi kerudung yang menambahkan kesan rapi penggunanya. Duh, teduh nan damai dipandang. Cantik dah. Seperti inilah peraturan pesantren Gontor putri. Setoran Hafalan Mengingat banyaknya mata pelajaran yang ada di pondok, maka santriwati memang harus sedikit demi sedikit mencicil materi yang telah dipelajari agar tidak susah payah ketika menghadapi ujian di kemudian hari. Selain menyetorkan hafalan pelajarannya, santriwati juga leluasa bertanya pelajaran pondok yang masih belum dimengerti dan tentu meningkatkan bonding antara guru dan murid. Peraturan pesantren Gontor Putri ini sangat unik dan jarang sekali ditemukan di pondok – pondok lain. Karena umumnya di pesantren lain hanya setoran hafalan Al Quran. Masih dalam peraturan mengenai pakaian, mukena yang digunakan santriwati sholat wajib berwarna putih dan bukan warna – warna lain. Warna putih ini dimaksudkan untuk menyelaraskan mukena antara santriwati satu dengan lainnya. Sederhana dan tidak bermewah – mewahan. Dan jika santriwati sampai masjid, maka sandal yang dipakai harus dimasukkan ke dalam tas sandal. Selain menjaga agar tidak tertukar dengan ratusan sandal santriwati lainnya, peraturan ini juga berfungsi untuk menjaga kebersihan dan kerapian areal masjid pondok. Pengiriman Uang untuk Santriwati Peraturan mengenai uang santriwati dari dahulu sampai sekarang masih tetap sama. Yakni menggunakan wessel. Juga sekarang sudah ditambah adanya aplikasi. Link aplikasi di sini. Selain itu, setiap minggunya santriwati hanya diperbolehkan menarik uang di Adm administrasi pondok sebesar Rp. ribu rupiah saja, bisa jadi setiap tahun angkanya sudah berubah. Pastinya peraturan pesantren Gontor putri ini dibuat agar santriwati tidak boros dan bisa menghemat uang yang dikirimkan oleh orang tuanya di rumah. Bagaimana jika santriwati membutuhkan uang lebih untuk keperluannya? Bapak dan ibu tenang saja, santriwati bisa menuliskan alasannya mengambil uang lebih pada buku tabungan miliknya. Peraturan Sekolah Gontor Putri Peraturan satu ini mungkin terdengar aneh di masyarakat. Bagaimana mungkin santriwati ke sekolah membawa buku pelajaran tanpa tas sekolah? Bagaikan peraturan tak tertulis, ke sekolah tanpa membawa tas sudah mendarah daging di keseharian santriwati. Bahkan tidak membawa tas ke sekolah ini malah menjadi “signature-nya” Pondok Modern Gontor ini. Unik ya. Demikian 8 peraturan unik dari sekian peraturan yang ada di Pondok Modern Gontor Putri. Kalau ingin tahu peraturan ketat di putra bisa dibaca di sini. Ustadzah Pesantren Putri Gontor Post Views Dulu sekali, sekitar dekade 1970 dan sebelumnya, fasilitas Pondok Modern Darussalam Gontor belum seperti sekarang, terutama fasilitas kamar mandi santri. Satu-satunya kamar mandi umum yang dimiliki pondok adalah yang terletak di belakang Gedung Baru sekarang Gedung Aligarh yang hanya berjumlah 30 unit kamar mandi dan WC, sangat kurang untuk jumlah santri yang ketika itu mencapai 1200 lebih. Keadaan itu membuat pondok bekerja sama dengan masyarakat desa. Para penduduk Desa Gontor yang rumahnya berdekatan dengan pondok diminta agar sumurnya dipakai mandi untuk para santri. Jika beberapa peralatannya rusak atau perlu diganti, pondok yang membelikan atau menggantinya. Ketika itu, lebih dari 20 sumur orang desa, dalam radius 100 meter sekitar pondok, dipergunakan oleh para santri. Para pemilik sumur itu, di antaranya ada yang bernama Pak Amiran, Pak Bero, Pak Gunung, Pak Katiman, Pak Syahir, Pak Soleh, dsb. Jadilah para santri yang biasa mandi di tempat-tempat tersebut dinisbahkan menjadi Bani Soleh, Bani Syahir, Bani Amiran, Bani Bero, dsb. Hubungan para santri dengan para pemilik sumur tersebut sangat akrab. Sekembalinya ke pondok setelah liburan sekolah, para santri pun acapkali membawakan oleh-oleh untuk pemilik sumurnya masing-masing. Pemilik sumur pun sangat mengenang “anak-anaknya” itu hingga kini, lengkap dengan karakter, sifat, dan kebiasaan masing-masing. Demikian pula, para pemilik sumur itupun telah menganggap para santri sebagai anak sendiri. Terjadilah hubungan yang harmonis, simbiosis mutualisme. Tidak hanya itu, di sumur-sumur itu para santri juga menorehkan kenangan, menjalin persaudaraan, keakraban, membentuk grup feeling dengan teman-temannya yang berasal dari berbagai daerah. Kenangan itupun terbawa hingga kini, berbilang tahun setelah para santri itu menjadi alumni. Dibalik itu semua, ada juga sisi-sisi negatif dari kondisi di atas Pertama, sumur-sumur itu dipakai baca dikuasai oleh kelompok tertentu. Misalnya, konsulat asal daerah Madura menguasai sumur Bani Syahir; mayoritas anak-anak Bani Soleh berasal dari Jakarta; Bani Amiran dan Bani Bero beranggotakan siswa Kelas 6. Kedua, karena menganggap rumah sendiri, anak-anak santri pun biasa meletakkan barang-barangnya di rumah pemilik sumur tersebut. Bahkan, ada pula di antara mereka yang menjadikan rumah pemilik sumur sebagai kamar kedua, alias tempat bersembunyi, menghindar dari disiplin dan aktivitas pondok. Tentu saja, hal itu termasuk pelanggaran berat. Ketiga, membahayakan jika pemilik sumur itu memiliki anak gadis, sungguh sangat berbahaya bagi para santri. Untuk hal ini, dalam berbagai ceramahnya, Ahmad Sahal selalu mengingatkan orang-orang desa agar tidak berusaha mendekati merayu dengan cara apapun kepada para santri. “Para mas santri itu mau sekolah. Maka, jangan diganggu! Misalnya, bajunya saya cucikan, Mas! Saya setrikakan, Mas! Alah-alah, jangan, jangan!” demikian beliau acap mengingatkan dalam Kuliah Subuh, para hari Idul Fitri dan Idul Adha. Karena itu, sejak dekade 1980-an, jika membangun asrama, pondok selalu melengkapinya dengan kamar mandi dan WC. Bangunan asrama lama, yang sebelumnya tidak memiliki unit kamar mandi, pun dibangun kamar mandi. Lambat laun, semua santri pun tidak lagi menggunakan sumur-sumur orang desa itu. Bani-bani itu pun tinggal kenangan. Dari para pemilik sumur itu yang masih hidup, ada Pak Gunung Gunadi. Selain pemilik sumur, Pak Gunung adalah juga menyediakan jasa mencuci dan menyeterika baju para santri. Baju-baju kotor diambilnya dari Bagian Penatu Organisasi Pelajar Pondok Modern OPPM organisasi intra-nya siswa Gontor, kemudian dicuci, disetrika, dan dikembalikan kepada santri melalui Bagian Penatu OPPM tadi. Rumah Pak Gunung juga strategis, yakni tepat di utara lapangan. Maka, setelah bermain bola, para santri yang anggota sumur itu dapat langsung menuju sumur Pak Gunung, untuk mandi dan pergi ke masjid. Sekarang tidak adalagi bani-bani itu. Rumah Pak Katiman telah dibeli Pondok; rumah Pak Syahir telah berubah menjadi gedung Saudi; rumah Pak Amiran telah dibeli dan menjadi rumah kediaman Ustadz Syukri. Selain itu, Pondok telah menyediakan kamar mandi bagi santri hampir di semua asrama. Demikian pula tempat berwudhu dan mencuci telah begiu banyak meskipun belum memadai benar bagi jumlah santri yang 4300-an orang itu. Yang paling dirasa cukup adalah tempat berwudhu santri. Menurut Ustadz Abdullah Syukri, “Untuk menjalankan disiplin, jumlah tempat wudhu harus cukup. Jika tidak, kita bisa dzolim. Dengan jumlah santri 4000, setidaknya, tempat wudhu harus berjumlah 500 pancuran. Dengan demikian, dalam waktu 10 menit, para santri sudah selesai berwudhu dan pergi ke masjid atau asrama. Kalau kran rusak, banyak anak yang terlambat berwudhu dan terlambat menunaikan shalat. Maka, keran-keran air itu harus selalu dikontrol, agar yang rusak segera diganti.” Menariknya, Ustadz Syukri, secara berkala, menghitung sendiri jumlah keran itu. Maka, ketika ada guru yang disuruh menghitung jumlah keran air, kemudian salah atau kurang, dengan nada tinggi beliau menyuruh guru tersebut menghitung kembali, kadang sampai berulang kali. Itulah Gontor. Seorang kyai Pondok Modern harus menguasai benar kondisi pondoknya, agar dapat menggerakkan santrinya, dengan melengkapi sarananya, sehingga pondok dan santri menjadi aktif, kreatif, dan dinamis. “No time for ecek-ecek,” ujar beliau acap kali dalam beberapa pertemuan. Rumah yang masih ada adalah rumah Pak Gunung, Pak Tumingan, dan Pak Bero. Lainnya, sudah dipindah atau berubah menjadi bangunan milik pondok. Mandi Di Gontor itu, sama sekali tidak butuh perjuangan, tinggal naruh Gayung dikamar mandi, maka itu tanda bahwa kita sudah mengantri untuk mandi. Mandinya juga kilat, maksimal 10 menit kalau tidak ingin digedor santri yang ngantri mau mandi. Makanya ga ada acara Luluran, atau pakai acara mandi rempah segala. Ga peduli pakai sabun atau tidak, yang penting basah. Karena ada yang mandinya ga modal sama sekali, gayung pinjem, sabun pinjem, shampoo pun minta. Jadi, biar tidak dimintai para “penjagal” shampoo, biasanya para santri akan menuangkan shampoo ke kepala sebelum pergi ke kamar mandi. Praktis, tidak perlu bawa botol shampoonya. Tapi mandi di Gontor putra itu bukan prioritas. Lebih baik tidak mandi daripada tidak makan, begitu prinsip yang dipegang para santri. Sebab kalau mandi, itu bisa kapan saja. Pas dikelas, izin keluar sebentar dengan alasan mau kebelang juga bisa dilanjut mandi. Tapi kalau makan, sekali ga kebagian ya sudah, tahan lapar sampai siang. Makanya, banyak sekali model santri Gontor yang ketika masuk kelas itu bawa sabun sama sikat ditaruh di saku celana belakang. Itu tandanya belum mandi, dan dia akan mandi ketika istirahat, atau ya itu tadi, minta izin sebentar kepada ustadznya kebelakang. Kamar mandi di Gontor juga praktis. Karena Aurat laki-laki hanya dari pusar ke bawah hingga dengkul, maka kamar mandinya-pun tidak semua tertutup sempurna. Ada yang Cuma separuh tertutupnya, karena ya semua penghuninya laki-laki jadi ya ndak masalah, selama tidak mandi bersama dalam satu kamar mandi. Dulu ada wali santri yang mempermasalahkan soal antri kamar mandi ini. Dia bahkan berani membicarakan faslitas kamar mandi dan antriannya ini di depan Imam Zarkasyi. Beliau lalu menjawab “Ya begitulah pak, memang masih ada kekurangan di Gontor ini. Fasilitas yang ada belum bisa memnuhi jumalh santri yang datang. Makanya mungkin akan diadakan pengurangan jumlah santri, termasuk tahun ini…” “Iya Kyai… betul itu… dikurangi saja jumlah santrinya Kyai…” “Iya… mungkin termasuk anak bapak juga belum bisa diterima disini, karena faslitasnya kurang…” “Wah…kalau anak saya ya jangan Kyai….” KH Imam Zarkasyi tersenyum. Begitulah manusia, kalau sudah sampai soal ego pribadinya yang kena, biasanya akan jadi bela mati-matian. Padahal pesantren itu kumpulan berbagai macam ego yang bermacam-macam. Beda lagi kalau di Gontor putri. Disini mandi adalah prioritas utama. Lebih baik tidak makan daripada tidak mandi. Makanya di sana jam tiga subuh sudah pada bangun, karena ya untuk nyuci dan mandi itu. Karena mungkin mandinya lama karena putri mungkin ya, sehingga antrinya juga lama…. Gontor, Aboslutely Memorable Moment…. Baca juga, sekilas tentang Pondok Pesantren Gontor Teladan Membangun Wibawa dan Karisma Kiyai Imam Zarkasyi 9 Kelebihan Pondok Modern Darussalam Gontor Dibanding Sekolah Negeri Sejarah Masjid Ponpes Gontor dan Presiden Soeharto Sumber Nashrulloh Zarkasyi Di sebuah desa di Ponorogo Jawa Timur, berdiri Pondok Modern Gontor, salah satu pesantren modern terbesar di Indonesia. Didirikan pada 20 September 1926 silam, Gontor kini memiliki 21 kampus yang tersebar dari Sumatera, Jawa, hingga Pondok Modern Gontor tidak bisa dilepaskan oleh sosok yang kerap disebut trimurti, yaitu Ahmad Sahal, Zainudin Fananie, Imam Zarkasyi. Ketiga kakak beradik itu adalah pencetus berdirinya Pondok Gontor yang modern. Sebelumnya, Gontor adalah pesantren tradisional. Nama Gontor sendiri merujuk pada sebuat tempat yang menjadi sarang penyamun dan penjahat. Namun, setelah ketiganya kembali belajar dari institusi modern di berbagai daerah, maka didirikanlah Pondok Gontor yang modern. Lalu, apa yang menjadi ciri dari Pondok Gontor ketika menyandang nama modern?Menurut pengasuh Pondok, Kiai Hasan Abdullah Sahal yang merupakan putra dari Ahmad Sahal, Gontor menganut pola keterbukaan."Keterbukaan itu ada di dalam ayat Al quran. Wahai orang-orang yang beriman telah dikatakan kepada kamu, lapangkanlah tempat dudukmu. Orang yang tidak mau melapangkan, itu orang yang tidak berkemanusiaan. Setiap masa ada tokohnya, ada masalahnya, dan ada perkembangannya," ucap Hasan dalam pidatonya yang dihadiri kumparan Kamis 12/4.Kuliah kepondok modernan dari pimpinan Gontor Foto Nesia Qurotta Ayuni/kumparanSenada dengan Kiai Hasan, Ahmad Suharto, wakil pengasuh santri di Pondok Gontor Putri 1 di Ngawi, para santri di Gontor diajarkan untuk bisa lebih terbuka dengan banyak hal. "Barangkali anak Gontor lebih terbuka lebih bisa autodidak dan mengembangkan dan lebih berani mengkaji kitab yang belum pernah dipelajari. Sementara dari pondok-pondok lainnya mereka merasa kurang etis mengkaji kitab tanpa guru," kata Suharto kepada kumparan saat ditemui di rumahnya 15/4. Di Gontor, para pengasuh juga menekankan orientasi kemasyarakatan, tidak hanya pada keilmuan. Oleh karena itu, para santri Gontor akan dibentuk karakter dan mentalitas mereka supaya bisa berjuang di masyarakat. Aspek keteladanan adalah hal yang diutamakan para pengasuh untuk membentuk karakter dan mentalitas tersebut."Maka mentalitas di Gontor itu yang diutamakan adalah keteladanan maka kami semua di sini hidup bersama santri. Kiai Gontor adalah kiai santri yang waktunya 24 jam untuk santri, mereka tidak boleh terlalu sering keluar pondok," sebut Suharto. Selama 92 tahun berdiri sebagai pondok modern, jumlah santri di Gontor hampir tak terhitung banyaknya. Mereka datang dari Sabang hingga Merauke, bahkan ada yang datang dari luar santri yang belajar di Gontor tentunya membuat Pondok ini diwarnai dengan keberagaman. Meski begitu, perbedaan itu tidak membuat para santri terpecah, para pengasuh mengatur sedemikian rupa agar mereka bisa berbaur satu sama lain."Di sini dalam mengatur apa saja tidak membedakan suku. Di dalam satu kamar, tidak boleh satu daerah. Dalam permainan sepak bola, satu tim tidak boleh satu daerah. Di dalam bermain musik, drum band, sampai pencak silat dan kegiatan apa pun tidak ada sukuisme. Di sini tidak ada bahasa daerah, adanya bahasa Indonesia," terang Kiai Hasan. Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Foto Satrio/kumparanSemua santri Gontor setiap enam bulannya akan digilir bergantian kamar. Mereka akan ditempatkan bersama kawan dari daerah lain yang suku, latar belakang ekonomi keluarga di Gontor juga beragam. Oleh karena itu, untuk menyiasatinya, Pondok membatasi jumlah baju yang dibawa, menyamakan menu makanan, dan juga menerapkan sistem menabung, ATM tidak diperkenankan di Gontor."Tidak membedakan anak jenderal dengan anak prajurit, anak majikan dengan anak karyawan. Antara yang bertitel dengan anak yang awam. Anak-anak kita samakan. Yang kaya dan yang miskin, bayar sama bayar sama, tidak ada yang sombong tidak ada yang minder. Inilah Pancasila ada di sini, yang ndak ada apanya di sini, inilah Pancasila. UUD 1945 ada di sini, Bhineka Tunggal Ika ada di sini," lanjut Kiai Hasan. Jauh dari rumah tentu membuat santri Gontor rindu dengan orang tuanya. Namun, hal itu disiasati Pondok dengan membuat metode pembelajaran yang menyibukkan santri. Saat santri sibuk, mereka tidak akan mudah merindukan rumah dan orang tua mereka."Melalui kegiatan yang padat dan banyak sehingga anak-anak tidak punya waktu kosong. Oleh karena itu, terbentuk kepribadian para santri yang aktif kreatif, dan juga produktif," tutur Suharto. Aktivitas sore para santri Gontor Foto Satrio Rifqi Firmansyah/kumparanSelama bertahun-tahun hidup di Pondok dengan disiplin kegiatan yang padat, disiplin waktu yang padat, aktivitas yang banyak yang terbimbing dan terarah, menurut Suharto membuat santri akan menjadi pribadi yang unggul. "Mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang cekatan, terampil, yang all around, punya banyak kreativitas, itu yang diharapkan. Sehingga anak-anak Gontor nanti diharapkan menjadi pemikir dan penggerak," sebut dengan aktivitas yang padat, santri Gontor juga dituntut berbicara dalam tatanan setiap hari dengan Bahasa Arab dan Inggris. Setiap 3 pekan di satu bulannya, mereka harus berbicara dengan Bahasa Arab, sedangkan sisanya mereka harus menggunakan Bahasa Inggris. Jika tidak menggunakan bahasa yang sudah ditentukan, maka konsekuensi telah menanti para santri. Sanksi akan diberikan sesuai jenis pelanggaran yang dilakukan, apakah berat atau ringan. Untuk menunjang lancarnya proses pembelajaran, santri di Gontor juga tidak diperkenankan membawa ponsel. Mereka bisa menelepon dengan pergi ke wartel yang disediakan Pondok. Salah seorang santri Gontor, Din Rusyda 24, mengungkap dia sempat berat meninggalkan orang tuanya. Namun, lama kelamaan dia menikmati hidup menjadi santri di Gontor. Kini, perempuan yang akrab disapa Din itu sudah 12 tahun 'mondok' di Gontor. "Dulu awalnya berat meninggalkan orang tua, karena saya agak manja. Tapi setelah orang tua meyakinkan, akhirnya saya memutuskan mondok di Gontor. Setelah bertahun-tahun saya menikmati pendidikan di sini," papar Din saat berbincang dengan kumparan di sebuah masjid di Rusyda, Siswi Pondok Modern Gontor Foto Nesia Qurrota A'yuni/kumparanTentang cita-cita GontorSebagai Pondok, Gontor juga punya cita-cita. Selama ini banyak bergema di masyarakat soal cita-cita berdirinya Gontor. Namun, ternyata ide cita-cita itu bukanlah tercetus dari orang Gontor." Gontor itu tercetus bukan oleh orang Gontor sendiri. Tapi justru oleh kunjungan salah satu seorang Masaikh, tokoh-tokoh Al Azhar yang datang berkunjung ke Gontor," cerita melihat Gontor dan dinamikanya, para masaikh itu menyimpulkan Gontor adalah miniatur Al Azhar. Gontor mempunyai program-program pendidikan yang baik sehingga mereka mendambakan betapa indahnya kalau di Indonesia ada Gontor. "Jadi itu merupakan harapan dan doa serta support bagi orang-orang Gontor. Dan itu sekaligus legitimasi pengakuan, setelah mereka melihat anak-anak Gontor yang melanjutkan studi ke Mesir bagus sekaligus ke masyarakat juga baik, akhirnya mereka mempunyai harapan seperti itu. Ditangkaplah kata-kata itu oleh Gontor, jadikan Gontor," lanjut Ahmad Suharto, Pengasuh Pondok Gontor. Foto Nesia Qurrota Ayuni/kumparanMengenai 1000 Gontor, hal itu secara fleksibel sudah hampir terealisasi. Para alumni Gontor tersebar di mana-mana dan mereka mendirikan pesantren. Sebagai contoh, saat silaturahim nasional forum alumni pesantren Gontor sudah terdata ada 330 pesantren alumni. Belum lagi pesantren cucu yang ada di bawahnya. "Darunnajah itu pondok pesantren alumni kemudian memiliki filial-filial, itu ada 12 atau 14. Kemudian alumni Darunnajah mendirikan pesantren-pesantren seperti Gontor yang jumlagnya ada puluhan. Itu belum kita data jumlahnya. Itu bisa dikatakan Gontor tidak mesti tapi banyak Gontor di mana-mana," jelas Suharto. UNIDA Gontor Foto Satrio Rifqi Firmansyah/kumparanMeski begitu, cabang Gontor yang ada saat ini masih terbatas. Pondok Gontor tengah memoratorium pendirian cabang. Mereka kini fokus untuk pengembangan universitas. "Gemuk ke samping kan tidak sehat," pungkas Suharto

kamar santri putri gontor